Hukum Menguap


Indonesia sebenarnya adalah negara-negara. Dua negara paling berkuasa sebelum Perang Dunia II dan sebelum Indonesia diproklamirkan adalah Hindia-Belanda di Batavia (Jakarta) dan Kerajaan Aceh Darussalam di Bandar Aceh Darussalam.

Kini, Aceh tidak lagi berperang dengan Jakarta. Belanda dengan kulit putihnya juga sudah tidak lagi bercokol di sana.

Setelah Aceh melewati masa-masa teramat sulit dan malang melintang dalam usaha mengembalikan eksistensi politik yang dimilikinya sebelum Perang Dunia II, kini Aceh sudah seharusnya menyusun kekuatan baru, terutama di bidang ilmu pengetahuan dan ekonomi. Allah Ta’ala telah mengaruniakan kepadanya segala sumber daya untuk menyusun kekuatan itu.

Di sana, tentulah ada rintangan. Mana ada jalan ke arah kemajuan tanpa rintangan! Dan Aceh dalam sejarahnya telah membuktikan ia adalah bangsa yang sanggup menghadapi apa pun rintangan. Allah Ta’ala telah menganugerahkan kepadanya keteguhan dan kesabaran.

Mengapa Aceh?
Karena Aceh sepenuhnya memiliki sejarah yang mesti dilanjutkan, tidak mungkin berhenti. Sekalipun Kuta Raja pernah diduduki Belanda, tapi Aceh belum jatuh, dan sama sekali belum berhenti. Jika sekarang Aceh berhenti, berarti Aceh telah pergi, dan dengan demikian ia adalah salah satu bangsa yang telah punah. Tidak patut diceritakan lagi selain untuk diambil pelajaran dari sebab-sebab kepunahannya.

Satu-satunya jalan mengelak dari kepunahan, Aceh harus melanjutkan geraknya untuk memberikan segala sesuatu yang terbaik. Tidak saja untuk masyarakat dalam batas geografis Provinsi Aceh hari ini tapi untuk Indonesia seluruhnya, bahkan untuk kawasan Asia Tenggara dan umat manusia. Itu menjadi tanggung jawabnya. Ia pernah memberikan banyak hal terbaik untuk kawasan ini di masa sejarah kebesarannya. Kenapa tak pandai mengulangi?!

Jalan berat. Beban berat. Kita mesti memecut diri kita dengan keras. Maka perbuatan menguap-nguap saja di warung kopi, ruang-ruang perkantoran, kelas-kelas sekolah dan perkuliahan, dan tempat lain semisalnya adalah perbuatan tidak sopan, melanggar etika, nista. Wajib dijauhkan!

Ingin jadi Apa kita nantinya? Singakah atau Domba!

@Ilustrasi : Singa dan Domba
Tidak semua diantara kita yang terlahir, kemudian besar, menjadi singa dalam hidupnya. Lebih banyak yang sejak kecil, memang sudah "disiapkan" menjadi domba, masuk ke dalam sistem, kemudian hanya turut, ikut apapun yang terjadi.

Tapi jika itu yang terjadi, maka, jadilah singa walau sehari, jangan seumur hidup menjadi domba.
Kita yang bekerja jadi PNS misalnya, masuk dalam sistem yang sudah begitu sejak dulu. Pelayanan buruk, penuh suap dan kolusi, disuruh manut oleh atasan dan kolega, maka jadilah singa walau sehari, lawan sekitar kalian. Mengaum buas.

Kita yang masih sekolah, nyontek jadi budaya. Saat UN, nyontek jamaah dimaklumi bahkan dibiarkan oleh sekolah, maka, jadilah singa walau sehari, adik-adik sekalian. Lawan kondisi tersebut. Mengaum buas. Jangan hanya jadi domba atau kambing terus-menerus, yang hanya bisa mengem-bekkk.

Tidak semua diantara kita ditakdirkan menjadi singa, dalam masyarakat yang masih terbelakang dalam penegakan hukum, nilai-nilai kejujuran, integritas, kita justeru dididik untuk tidak banyak bertanya, tidak banyak protes, ikuti saja kebiasaan. Jika mulai banyak tanya, resikonya bisa panjang. Tapi, apakah kita mau hanya jadi domba seumur hidup? Apakah kita saat usia 50, 60 tahun, berdiri, melihat ke belakang, menyaksikan terbentang panjang sejarah hidup kita yang hanya jadi domba.

Jadilah singa dalam sehari, adik-adik sekalian. Memang tidak ada jaminan itu akan berhasil, tapi bayangkan, jika ribuan, jutaan orang mau menjadi singa dalam sehari, kita akan menyaksikan, perlawanan telah dimulai. Perubahan menuju kebaikan telah digelindingkan.
Mengaumlah! Tunjukkan kalian punya prinsip dan pemahaman hidup terbaik.
Mulailah menjadi singa meski hanya sehari.

Kumuhnya Peradaban Dunia Eropa Abad Pertengahan dulu.


@Ilustrasi


Seandainya kita bisa masuk kemesin waktu menuju abad pertengahan seperti abad ke-10 Masehi (ke-4 Hijriah) dan terbang menyusuri kota-kota dunia Islam dan kota-kota dunia Barat, kita akan terkaget-kaget melihat perbedaan besar

Antara kedua dunia itu. Anda akan tercengang melihat sebuah dunia yang penuh dengan kehidupan, kekuatan dan peradaban, yakni dunia Islam, dan sebuah dunia lain yang primitif, sama sekali tidak ada kesan kehidupan, ilmu pengetahuan dan peradaban yakni dunia Barat.

Marilah kini kita bandingkan kota-kota di dunia itu. Kita mulai dengan dunia Barat untuk melihat bagaimana penghidupan penduduknya, keluasan kota-kotanya dan martabat orang-orangnya. Dalam artikel ini saya hanya ingin membahas keadaan dunia eropa tempo dulu yang masih sangat primitif.

Dalam buku sejarah umum karya Lavis dan Rambou dijelaskan bahwa Inggris Anglo-Saxon pada abad ke-7 M hingga sesudah abad ke-10 M merupakan negeri yang tandus, terisolir, kumuh dan liar. Rumah-rumah dibangun dengan batu kasar tidak dipahat dan diperkuat dengan tanah halus. Rumah-rumahnya dibangun di dataran rendah. Rumah-rumah itu berpintu sempit, tidak terkunci kokoh dan dinding serta temboknya tidak berjendela. Wabah-wabah penyakit berulang-ulang berjangkit menimpa binatang-binatang ternak yang merupakan sumber penghidupan satu-satunya.

Tempat kediaman dan keamanan manusia tidak lebih baik dari hewan. Kepala suku tinggal di gubuknya bersama keluarga, pelayan dan orang-orang yang punya hubungan dengannya. Mereka berkumpul di sebuah ruangan besar. Di bagian tengahnya terdapat tungku yang asapnya mengepul lewat lobang tembus yang menganga di langit-langit.

Mereka semua makan di satu meja. Majikan dan isterinya duduk di salah satu ujung meja. Sendok dan garpu belum dikenal dan gelas-gelas mempunyai huruf di bagian bawahnya. Setiap orang yang makan harus memegang sendiri gelasnya atau menuangkannya ke mulutnya sekaligus. Majikan beranjak memasuki biliknya di sore hari setelah selesai makan dan minum. Meja dan perkakas kemudian diangkat. Semua orang yang ada di ruangan itu tidur di tanah atau di atas bangku panjang. Senjata mereka ditaruh di atas kepala mereka masing-masing karena pencuri saat itu sangat berani sehingga orang dituntut untuk selalu waspada dalam setiap waktu dan keadaan.

Pada masa itu Eropa penuh dengan hutan-hutan belantara. Sistem pertaniannya terbelakang. Dari rawa-rawa yang banyak terdapat di pinggiran kota, tersebar bau-bau busuk yang mematikan. Rumah-rumah di Paris dan London dibangun dari kayu dan tanah yang dicampur dengan jerami dan bambu (seperti rumah-rumah desa kita setengah abad yang lalu). Rumah-rumah itu tidak berventilasi dan tidak punya kamar-kamar yang teratur. Permadani sama sekali belum dikenal di kalangan mereka. Mereka juga tidak punya tikar, kecuali jerami-jerami yang ditebarkan di atas tanah.

Mereka tidak mengenal kebersihan. Kotoran hewan dan sampah dapur dibuang di depan rumah sehingga menyebarkan bau-bau busuk yang meresahkan. Satu keluarga semua anggotanya (laki-laki, perempuan dan anak-anak) tidur di satu kamar bahkan seringkali binatang-binatang piaraan dikumpulkan bersama mereka. Tempat tidur mereka berupa sekantung jerami yang di atasnya diberi sekantung bulu domba sebagai bantal. Jalan-jalan raya tiada ada saluran airnya, tidak ada batu-batu pengeras dan lampu.
Kota terbesar di Eropa berpenghuni tidak lebih dari 25.000 orang.
Begitulah keadaan bangsa Barat pada abad pertengahan sampai abad ke-11 Masehi, menurut pengakuan para sejarawan mereka sendiri.

Sumber : Dr. Mustafa As-Saba'i
Editor    : Syd

Mirip Pencakar Langit, Inilah Contoh Perkebunan Masa Depan!


fastcoexist.com

Saat ini kota-kota di seluruh dunia mulai mencari jalan keluar berteknologi tinggi untuk menjawab kelangkaan lahan pertanian dan perkebunan. Beberapa kota seperti Chicago, Kyoto, dan Singapura sudah menemukan sistem yang sangat efisien dengan memanfaatkan lampu artifisial.

Kota-kota itu membudidayakan tanaman di dalam gedung tertutup. Sementara itu, Swedia juga sudah membuktikan diri dengan membangun gedung pencakar langit bersama perusahaan spesialis urban farming, Plantagon.

Kini, giliran Aprili Design Studio yang menawarkan ide tidak biasa. Namun, studio tersebut mengambil pendekatan berbeda.

Aprili menggunakan dek-dek ringan untuk menyediakan ruang tanam luar ruangan di sisi gedung pencakar langit. Konsep "menempelkan" tanaman ke gedung pencakar langit yang ditawarkan Aprili Design studio istimewa lantaran studio tersebut menawarkan gedung khusus untuk tanaman.

"Versi kami atas perkebunan vertikal dimaksudkan agar berdiri secara mandiri, sebuah struktur terbuka yang bisa benar-benar memfokuskan diri pada aktivitas perkebunan dan fungsi keberlanjutan. Misalnya, menghasilkan energi terbarukan dan berfungsi sebagai penyaring udara dan air," ujar arsitek Steve Lee dan See Yoon Park.

Konsep yang diusung oleh Aprili Design Studio disebut dengan Urban Skyfarm. Bentuknya mirip dengan pohon berukuran besar dan diperkirakan bisa menyediakan ruang hingga 9,7 hektar untuk menanam pohon buah dan sayuran. Selain itu, fasilitas ini pun akan dilengkapi oleh panel surya yang akan menyediakan cukup energi untuk kegiatan bercocok-tanam di dalam gedung ini.

"Dengan dukungan teknologi perkemunan hidroponik, ruang ini mampu secara efisien menampung lebih dari 5.000 tanaman buah," terang para arsitek.

Para arsitek juga mulai membayangkan bahwa Urban Skyfarm tersebut akan mereka bangun di pusat kota Seoul, Korea Selatan. Menurut Lee dan Park, rasa-rasanya lokasi tersebut merupakan lokasi ideal untuk mencoba prototipe karya mereka.

"Kami percaya akan ada lebih banyak atensi dan diskusi mengenai perkebunan vertikal mendekati Milan Expo 2015, dan kami harap Urban Skyfarm bisa menjadi bagian dari diskusi sebagai sebuah proposal prototipe. Perkebunan vertikal benar-benar bukan hanya solusi baik untuk kelangkaan pangan di masa depan, namun juga strategi luar biasa untuk menyasar masalah lingkungan karena urbanisasi," ujar kedua arsitek.

Disadur dari : Kompas.com 
Sumber asli  : Fastcoexist.com

Aneka Kue Lebaran di Pasar Atjeh

Foto: Ahmad Ariska
Foto: Ahmad Ariska

Ada pemandangan berbeda di Pasar Atjeh menjelang Hari Raya Idul Fitri. Lapak-lapak penjaja kue dengan aneka rasa bertaburan di antara kerumunan orang-orang berbelanja di pusat perbelanjaan tradisional Kota Banda Aceh itu. Suasana ini lazim terlihat tiap akhir Ramadhan.

Begitu mendekati pintu gerbang Pasar Atjeh yang bersebelahan pagar dengan Masjid Raya Baiturrahman, di sudut gapura, langsung terlihat penjaja kue lebaran berbagi lapak dengan pedagang peci, topi dan aneka aksesoris lainnya.

Lapak pedagang kue musiman seperti ini terus kita temui hingga di penghujung jalan dan dalam gang-gang Pasar Atjeh. Termasuk di pinggir-pinggir Jalan Diponogoro dan KH Ahmad Dahlan. Aneka kue berjejer rapi di atas meja, sebagian digantung pada sebatang tiang kayu. Bentuk dan warnanya beragam dan unik-unik, sehingga cukup mengugah selera.

Penjaja kue tumbuh subur menyusul tingginya permintaan untuk lebaran. Dengan sikap ramah terhadap pembeli, mereka menawarkan beragam jenis kue kering baik tradisional maupun modern yang kualitasnya tak kalah dari kue-kue dijual di super market atau mall. Harganya terjangkau, mulai dari Rp 25 ribu sampai 40 ribu perkilogram atau perkemasan.

Kue khas Aceh seperti kue bhoi, kue seupet, bada reuteuk, sagon, kacang tojin, kue bawang, kue halia, halua serta kacang-kacangan tetap diburu pembeli. Meski harus bersaing dengan penganan modern seperti nastar, kue keju, lontong paris, bola-bola coklat, pottato yang juga banyak disukai.

Foto: Ahmad Ariska
Adi (50 tahun) seorang penjual kue musiman di Pasar Atjeh mengatakan, umumnya pembeli adalah perempuan. “Sebagian dibeli untuk oleh-oleh ke kampung saat mudik lebaran, ada juga untuk stok di rumah saat lebaran, untuk disajikan kepada tamu,” katanya, Rabu 23 Juli 2014.

Kue-kue yang dijual itu, lanjut Adi, adalah buatan industri rumah tangga di Banda Aceh dan Aceh Besar, sebagian didatangkan dari luar Aceh. Adi menjamin kalau kue buatan lokal tanpa pengawet namun tetap bisa bertahan lama serta mutunya tak kalah dengan penganan modern.

Menurutnya permintaan kue lebaran terus meningkat seiring dengan kian dekatnya lebaran. “Biasanya dua atau tiga hari lagi jelang lebaran permintaannya akan semakin banyak. Kalau sekarang sudah mulai sedkit-sedikit (peningkatan) tapi masih normal,” ujarnya.

Nah, jika Anda ingin menikmati aneka rasa kue-kue khas lebaran, silakan datang ke Pasar Atjeh. Lapak-lapak itu buka mulai pagi hingga jelang tengah malam.
Sumber: bandaacehtourism.com

Wisata Ke Maya bay Thailand



Pemandangan Laut di maya Bay Thailand
Di sebuah penginapan di Thailand, Leonardo DiCaprio mendengar cerita tentang keindahan sebuah pulau tersembunyi. Sebelum mati bunuh diri, si pencerita juga meninggalkan sebuah peta rahasia menuju pulau itu. Bermodal peta itulah Leonardo bersama dua rekannya nekat menantang bahaya demi tiba di pulau impian.  
Cerita itu tersaji di film The Beach. Leonardo memerankan tokoh Richard, anak muda petualang asal Amerika yang merindukan kehidupan sebagai anak pantai. Dirilis tahun 2000, film ini mengambil lokasi syuting di Maya Bay, sebuah pantai eksotis di gugusan pulau-pulau sekitar Phuket, Thailand.
Ke pantai itulah saya melancong belum lama ini. Film The Beach sukses mengundang decak kagum sekaligus melambungkan Maya Bay sebagai salah satu tujuan wisata para pelancong dari berbagai belahan dunia. Pantai itu kini lebih dikenal dengan nama Pulau Leonardo DiCaprio daripada nama aslinya. Biro-biro perjalanan di Thailand tak lupa menyelipkan nama Leonardo di brosur wisata sebagai daya tarik.
Termasuk dalam wilayah Provinsi Krabi, Maya Bay bisa dijangkau dari Phuket atau pusat kota Krabi. Jarak tempuhnya hampir sama: 48 kilometer dari Phuket, dan 42 kilometer dari Krabi.
Sempat terkena dampak tsunami yang berpusat di Aceh pada 24 Desember 2004, enam bulan sesudahnya pulau itu kembali menerima turis asing. Pada April 2012, situs panduan wisata Tripadvosor.com, menempatkannya pada posisi ke-18 dari 25 lokasi tujuan wisata di Asia, bersama Ubud, Bali, yang berada di posisi ke-14.
Saya tiba di sana setelah menempuh perjalanan menggunakan kapal ferry dari Phuket. Ongkosnya 700 bath, setara Rp220 ribu. Ini sudah termasuk biaya makan siang yang disediakan awak kapal.
Satu setengah jam di lautan, kapal merapat di dermaga Pulau Phi Phi Don. Ini adalah pulau utama di sana.  Meski disebut pulau utama, namun ukurannya relatif kecil. Tak ada mobil berseliweran. Hampir 80 persen orang berjalan kaki. Sisanya naik sepeda atau sepeda motor. Yang menarik, 70 persen penduduk di pulau ini beragama Islam. Sisanya menganut agama Budha.
Menginjakkan kaki di pulau ini, suasana pulau wisatanya benar-benar terasa. Melewati gerbang pelabuhan, berdiri sebuah Tourist Information Center. Di pusat informasi ini, pengunjung dapat bertanya apa saja mengenai pulau Phi Phi. Mulai dari harga penginapan yang bervariasi, tempat makan, lokasi counter ATM tempat menarik uang tunai, sampai di mana tempat mencuci pakaian kotor. Harganya bervariasi untuk kelas backpacker maupun kelas eksekutif.
Di kiri kanan jalan setapak berjejer toko-toko berkonstruksi kayu yang menjual aneka kebutuhan pelancong. Dari tempat makan, warung internet, hingga operator diving yang menawarkan peralatan menyelam. Fasilitas yang ditawarkan terbilang lengkap, semisal Seafrog Diving Center.
Maya Bay terletak di pulau lain yang tak jauh dari pulau utama. Jaraknya hanya15 menit naik boat. Orang setempat menyebutnya Ko Phi Phi Lay. Berbeda dengan pulau utama, tak ada penduduk yang tinggal di sini.  Yang ada hanya para turis yang memenuhi pantai berpasir putih nan halus yang terbentang sepanjang 200 meter.
Amazing! Incredible! Wonderful! Itulah kata-kata yang sering keluar dari mulut para pelancong sebagai wujud rasa kagum ketika menjejakkan kaki di Maya Bay. Posisinya yang yang menjorok ke dalam dan terlindung di tiga sisi oleh tebing-tebing bukit kapur setinggi sekitar 100 meter membuat suasana private beach benar-benar terasa.  
Untuk tiba di tepi pantai, boat yang saya tumpangi melewati perairan yang dipagari bukit kapur di kedua sisinya. Itulah satu-satunya pintu gerbang menuju pantai. Jika diumpamakan seperti huruf U, serakan pasir pantai hanya terdapat di bagian yang melengkung. 
Duhai, lihatlah pemandangan yang tersaji: pantai berpasir putih dikelilingi bukit-bukit karst, air setenang kolam renang nan hijau, dan ikan-ikan jinak aneka warna yang berenang bersama manusia. Tak salah jika produser film The Beach kepincut dengan pantai ini. Tak salah pula jika orang menyebutnya surga tersembunyi di muka bumi.
Pemandu wisata yang membawa saya ke sana mematikan mesin boat sebelum tiba di tepi pantai. Telunjuknya mengarah ke air yang dipenuhi ikan-ikan kecil aneka warna. Tun, nama pria itu, menuntun saya untuk berenang di antara ikan-ikan. Tak lupa ia menyodorkan roti yang sudah dipotong kecil-kecil untuk umpan ikan. 
Tak bisa berenang? Jangan khawatir, Tun melengkapi boatnya dengan peralatan snorling, lengkap dengan baju pelampung dan  pin yang sering disebut kaki katak. Dengan peralatan itu, dijamin anda tetap mengapung meski tak bisa berenang.
Byuur! Baru saja nyemplung ke air, saya tiba-tiba dikepung ratusan ikan kecil. Dari atas boat, Tun mengisyaratkan untuk memberi remah-remah roti. Benar saja, ikan-ikan itu langsung berebutan ketika saya melempar roti.  Sungguh menyenangkan!
Puas bermain-main dengan ikan, Tun kemudian menghidupkan mesin boatnya, mengantar saya keliling ke beberapa titik menarik lainnya. Untuk mendapatkan pelayanan ini, cukup membayar 750 bath setara Rp 235 ribu per orang.  Dari Maya Bay, Tun membawa saya ke Monkey Beach yang dipenuhi monyet, mengayuh kano di antara bukit-bukit kapur di Pileh Lagoon, dan bersnorkling ria di Loh Samah Bay.  
***
Ketika berenang bersama ikan di Maya Bay, ingatan saya melayang ke Pantai Iboih dan Rubiah di Sabang. Ikan-ikan di sana juga tak kalah bersahabat. Keindahan alamnya juga tak jauh beda. Air yang tenang dan jernih serupa kolam renang? Sabang juga punya. Bedanya hanya pada bukit-bukit kapur yang tak ada di Sabang.
Hal lain yang tak tersedia di Sabang adalah fasilitas untuk wisatawan. Jangankan counter-counter ATM untuk menarik duit seperti yang tersedia di Koh Phi Phi, fasilitas untuk pemandian umum sehabis berenang pun belum ada yang memadai. Ini terasa janggal untuk Sabang yang telah ditetapkan sebagai salah satu lokasi tujuan wisata nasional oleh Kementerian Pariwisata. Padahal, sektor pariwisata menjadi salah satu andalan pendapatan pemerintah setempat. Pada titik ini, Sabang  seperti tak punya pemerintah. Maka tak heran Sabang hanya terkenal diantara bule-bule dengan isi kantong terbatas.
Ingatan saya tentang Sabang buyar ketika Tun mematikan mesin boat. Rupanya, kami telah tiba kembali di pulau utama. Di ufuk barat, langit mulai kemerahan, pertanda sebentar lagi matahari akan tenggelam.
“Jika ingin sembahyang magrib, di ujung jalan utama ada mushalla,” kata lelaki muslim berusia 38 tahun itu.
Saya menganggukkan kepala. Sepanjang jalan menuju musalla Tun yang keturunan Melayu bercerita tentang sektor pariwisata yang telah mengubah hidupnya.
Tun pernah bekerja sebagai nelayan. Namun, ketika gelombang turis datang ke kampungnya, ia beralih profesi menjadi pengantar wisatawan. Katanya, uang yang diperoleh dari wisatawan lebih banyak daripada hasil mencari ikan di laut. Itu sebabnya, jika dulu berburu ikan, kini Tun lebih memilih memelihara ikan-ikan sebagai daya tarik bagi pelancong.
“Kalau ikannya ditangkap, hasilnya hanya sementara. Tapi membiarkan ikan-ikan itu hidup bisa mendatangkan uang dari wisatawan untuk waktu yang lama,” kata Tun sambil tersenyum.
Seperti Tun, hampir seluruh nelayan pulau itu menggantungkan hidup dari industri pariwisata. Ada yang berdagang, pemandu wisata, atau membuka penginapan untuk para turis.
Di pulau itu saya juga bertemu dengan Imran, seorang anak muda jebolan pesantren di Thailand Selatan. Imran berprofesi ganda: guru mengaji, dan pemandu wisata.  Jam kerjanya tak tentu, tergantung tamu yang memakai jasanya. Tak jarang ia ikut menemani tamunya hingga larut malam.
Kehidupan di Koh Phi Phi memang tak berhenti ketika malam tiba. Jika siangnya pelancong menikmati keindahan alam, malam harinya berganti dengan menonton pertunjukan di tepi pantai.  
Ditemani suara musik yang berdentam dari puluhan kafe yang berjejer di tepi pantai, malam itu saya menonton aksi empat pria yang unjuk kebolehan beratraksi bola api. Yang bikin takjub, satu dari mereka berjalan di seutas tali sambil memutar dua bola api di tangannya. Tepuk tangan langsung menggema ketika lelaki itu berhasil tiba di ujung tali tanpa terjatuh.
Menyaksikan atraksi itu, ingatan saya kembali melayang ke Sabang. Saya membayangkan malam di Sabang tentu akan lebih hidup jika pelancong disuguhi atraksi lokal seperti debus, rapai atau seni tradisi lainnya.
Leonardo DiCaprio dengan film The Beach-nya telah mengubah hidup penduduk Koh Phi Phi. Pulau kecil di Laut Andaman yang dulu tersembunyi itu telah bersalin wajah. Pada Juni 2013 lalu, CNN memasukkannya dalam 100 pantai terindah di dunia.
Bagaimana dengan Sabang?

Sumber : Majalah The Atjeh

Sejuta Manfaat Melinjo (Mulieng)

SETELAH melewati jalan berbatu dan berlubang sejauh 2 kilometer, akhirnya sampai juga ke kebun mulieng di hulu sungai di Pucok Krueng, Lhoknga, Aceh Besar. Memasuki lahan, pandangan kami langsung tertuju pada sebatang pohon mulieng “raksasa”. Ukurannya cukup besar, tak dapat dipeluk dua orang dewasa.
Mulieng raksasa ini tampak mencolok dibandingkan pohon lainnya. Tinggi menjulang dipenuhi urat-urat kasar menonjol, mirip seperti batang akar menempel dan memeluk batang. Ruas-ruas yang melingkari tak lagi beraturan, mirip ruas pohon kelapa. Di pangkalnya terlihat ditumbuhi lumut. Sementara seluruh lapisan kulit terluarnya dipenuhi bercak-bercak putih–jamur–seperti panu. Rimbunan dedaunan hijau tua memayungi pohon, daun-daun muda di pucuk ranting ikut mewarnainya.
Di kebun itu tak hanya terdapat sebatang raksasa mulieng itu saja. Ada ratusan batang yang memenuhi lahan. Ukuran terkecil sebesar paha orang dewasa.
Cuaca agak mendung ketika kami tiba di kebun milik Mukhtar Yacob di Pucok Krueng itu awal November lalu. Kebun itu berjarak sekitar 16 kilometer dari Banda Aceh. Berada di kebun itu sangat menyenangkan. Hawanya sejuk karena berada di hulu sungai yang langsung berhadapan dengan dinding-dinding tebing curam. Di dasar tebing ada kolam air kehijauan, tampak serasi dengan warna di sekitarnya. Di atas tebing beberapa primata berlompatan dari satu dahan ke dahan lainnya.
Puas berkeliling kebun dan menikmati panorama di lokasi tersebut, kami menemui pemilik kebun di rumahnya.
Tak sulit mencari rumah pria sepuh yang biasa dipanggil Teungku Akob itu. Persis di belakang rumah Cut Nyak Dhien di Gampông Lampisang, Kecamatan Lhoknga.
Di kawasan Pucok Krueng, katanya, pohon mulieng sudah tumbuh sejak lama. “Kalau yang paling besar itu usianya mungkin lebih seratus tahun karena sejak saya lahir memang sudah ada di sana,” kata pria kelahiran 1936 itu.
Akob berkisah, ia mempelajari menanam mulieng dari menonton televisi di era 1980-an. Saat itu, kata Akob, sebagian orang kampung sedang menebang pohon mulieng. Mereka tergiur dengan kemilau cengkeh. Namun, Akob tetap konsisten dengan pohon mulieng-nya. Dia mengembangkannya dengan sistem sambung agar mudah membedakan antara mulieng jantan dan mulieng betina.
Mulieng betina akan berbuah dan menjadi bahan baku pembuatan emping, sedangkan mulieng jantan untuk dipetik daun dan bunganya saja. “Tiep uroe poh 6 beungoh ka lônjak u lampôh (setiap hari, pukul enam pagi, saya sudah berkebun),” katanya.
Saat bercerita, tak jarang ia menjulurkan kepalanya lebih dekat ke arah kami. “Peugah beu rayek bacut, hana deuh nyoe (keraskan suaramu, saya tak bisa mendengarnya),” katanya sembari memegang telinga kirinya. “Oleh-oleh dari jameun konflik (oleh-oleh zaman konflik),” ujarnya berkelakar.
***
Mulieng, dalam bahasa Indonesia disebut melinjo (Gnetum gnemon L.). Ini tumbuhan berbiji terbuka (Gymnospermae). Bijinya terbungkus kulit aril yang berdaging. Kulit aril ini terasa pahit dan mempunyai warna seperti merah, kuning kemerah-merahan, atau jingga. Adapun daunnya berbentuk oval dan ujungnya tumpul. Dudukan daun berhadapan dengan tulang daun yang menyirip.
Hatta Sunanto dalam bukunya Budidaya Melinjo menuliskan, melinjo berasal dari Semenanjung Malaysia. Distribusinya membentang dari daerah Assam (India) sampai Kepulauan Fiji. Namun ada pendapat lain yang mengatakan, melinjo berasal dari Indonesia, yang dibawa pendatang dari Amboina ke Penang pada 1809, kemudian dibawa masuk kembali ke Indonesia.
Di Indonesia, tanaman ini tersebar di mana-mana, begitu juga di Aceh sehingga tak begitu sulit mencarinya. Namanya juga sangat beragam, di Aceh melinjo dikenal dengan nama mulieng. Nama-nama lain yang melekat pada tanaman ini adalah belinjo, mlinjo, maninjau, bagor, so, trangkil, dan tangkil sako. Dalam bahasa Melayu dan Tagalog disebut bago, dalam bahasa Kamboja disebut khalet.
Di Aceh pohon mulieng mudah ditemukan di daerah pesisir. Daerah yang menjadi sentra komoditas mulieng adalah Pidie dan Pidie Jaya.
Sekretaris Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Pidie, Fakruddin, menjelaskan penyebaran tanaman mulieng di Pidie meliputi Kecamatan Mutiara, Mutiara Timur, Sakti, Keumala, Pidie, dan Kecamatan Simpang Tiga. Pada 2012 produksi mulieng di Pidie mencapai 109.584 kilogram dengan jumlah pohon 249.662 batang. Tahun sebelumnya jumlah produksi hanya 99.073 dari jumlah pohon 224.642 batang. Rata-rata per batang jika sedang musim panen dapat mencapai 44 kilogram.
Musim panen biasanya terjadi pada Maret-April, Juni-Juli, dan September-Oktober. Khusus di Pidie, buah mulieng umumnya diproduksi menjadi emping atau keurupuk mulieng. Namun proses pengolahannya masih dilakukan secara tradisional oleh industri rumah tangga. Bahkan petani mulieng dari daerah lain, banyak yang menjual hasil panennya ke Pidie. Seperti yang dilakukan Teungku Akob. Saking terkenalnya, keureupuk mulieng kemudian ditabalkan sebagai julukan daerah tersebut.
Dalam bukunya, Hatta Sunanto menjabarkan manfaat mulieng yang multifungsi. Daun, bunga, dan buah mudanya dijadikan sebagai bahan baku sayuran, kulit batangnya dapat diolah menjadi tali untuk jala atau tali panjat, sedangkan kayunya dapat dimanfaatkan untuk bahan pembuatan kertas. Adapun untuk kebutuhan mebel kayu, mulieng kurang cocok karena tidak dapat bertahan lama.
Mulieng tergolong jenis tanaman yang mampu bertahan lama, usia hidupnya di atas 100 tahun dan tetap produktif. Bila tak pernah dipangkas, ketinggiannya dapat mencapai 25 meter dengan tajuk pohon berbentuk kerucut dan piramida. Pada seluruh bagian batang, cabang, dan ranting terdapat ruas bekas tempat tumbuh tangkai daun, ranting, dan cabang.
Tanaman ini dapat hidup di tanah liat/lempung, berpasir, dan berkapur, tetapi tidak tahan dengan kondisi tanah yang tergenang air dan berkadar asam tinggi. Di Indonesia, mulieng tumbuh di daerah pantai yang berhawa panas sampai di daerah pegunungan pada ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut.
Jika ada istilah melinjo betina dan jantan, dalam penelitian juga ditemukan adanya melinjo hermaphrodite atau berkelamin ganda, yaitu pada satu pohon terdapat bunga jantan dan bunga betina. Namun jumlah ini tidak banyak. Kondisi ini menyulitkan kita mengidentifikasi jenis kelaminnya karena perlu menunggu waktu sekitar 5-7 tahun. Berbeda jika dikembangkan secara vegetatif (cangkok) atau grafting (penyambungan, okulasi).
Jenis yang terdapat di Kabupaten Pidie tergolong dalam dua varietas, yaitu Mulieng Padé dan Mulieng Gajah. Keduanya telah mendapat sertifikat terdaftar di Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian di Kementerian Pertanian RI atas permohonan Bupati Pidie. Mulieng Gajah mendapat sertifikat pada 17 Desember 2012, sedangkan Mulieng Padé pada 18 Januari 2013.
***
Meski bukan tanaman khas, mulieng sangat istimewa bagi masyarakat Aceh. Kuliner khas Aceh Gulèe Pliek menggunakan bahan baku daun dan buah mulieng. Sayur ini sering dihidangkan di acara-acara khusus seperti pesta perkawinan dan kenduri lainnya. Gulèe Pliek juga menjadi hidangan istimewa di warung-warung dan rumah makan. Selain itu kuliner khas Aceh Barat Gulè Jruek juga menggunakan daun dan buah muda tanaman ini. Begitu juga dengan kuliner khas Aceh Besar Ie Bu Peudah.
Lebih dari itu, mulieng telah menjadi penopang kehidupan sebagian kecil masyarakat Aceh. Teungku Akob salah satunya. Dari uang hasil penjualan daun dan buah melinjo itulah Teungku Akob menyekolahkan delapan anaknya, bahkan ada yang bergelar magister dari Universitas Gadjah Mada.
Setiap hari selepas subuh hingga petang, Teungku Akob selalu berada di kebunnya. Hasil panen daun mulieng ia jual ke Pasar Aceh. Kini di usianya yang telah senja, ia mengaku ingin menghabiskan waktunya untuk beribadah dan mengurus kebun mulieng-nya.
Hari hampir sempurna gelap. Suara-suara cacing tanah sudah terdengar sahut menyahut. Kami pun beranjak pulang. Sebelum benar-benar meninggalkan rumah Teungku Akob, kami kembali teringat pada ucapannya,  “Ureung laén mant?ng terlena ngen lawang, lôn bah ngen mulieng mant?ng,” katanya.
Sumber : Atjehpost.com