 |
| Pemandangan Laut di maya Bay Thailand |
Di sebuah penginapan di Thailand,
Leonardo DiCaprio mendengar cerita tentang keindahan sebuah pulau tersembunyi.
Sebelum mati bunuh diri, si pencerita juga meninggalkan sebuah peta rahasia
menuju pulau itu. Bermodal peta itulah Leonardo bersama dua rekannya nekat
menantang bahaya demi tiba di pulau impian.
Cerita itu tersaji di film The
Beach. Leonardo memerankan tokoh Richard, anak muda petualang asal Amerika
yang merindukan kehidupan sebagai anak pantai. Dirilis tahun 2000, film ini
mengambil lokasi syuting di Maya Bay, sebuah pantai eksotis di gugusan
pulau-pulau sekitar Phuket, Thailand.
Ke pantai itulah saya melancong
belum lama ini. Film The Beach sukses mengundang decak kagum sekaligus
melambungkan Maya Bay sebagai salah satu tujuan wisata para pelancong dari
berbagai belahan dunia. Pantai itu kini lebih dikenal dengan nama Pulau
Leonardo DiCaprio daripada nama aslinya. Biro-biro perjalanan di Thailand tak
lupa menyelipkan nama Leonardo di brosur wisata sebagai daya tarik.
Termasuk dalam wilayah Provinsi
Krabi, Maya Bay bisa dijangkau dari Phuket atau pusat kota Krabi. Jarak
tempuhnya hampir sama: 48 kilometer dari Phuket, dan 42 kilometer dari Krabi.
Sempat terkena dampak tsunami yang
berpusat di Aceh pada 24 Desember 2004, enam bulan sesudahnya pulau itu kembali
menerima turis asing. Pada April 2012, situs panduan wisata Tripadvosor.com,
menempatkannya pada posisi ke-18 dari 25 lokasi tujuan wisata di Asia, bersama
Ubud, Bali, yang berada di posisi ke-14.
Saya tiba di sana setelah menempuh perjalanan
menggunakan kapal ferry dari Phuket. Ongkosnya 700 bath, setara Rp220 ribu. Ini
sudah termasuk biaya makan siang yang disediakan awak kapal.
Satu setengah jam di lautan, kapal
merapat di dermaga Pulau Phi Phi Don. Ini adalah pulau utama di sana.
Meski disebut pulau utama, namun ukurannya relatif kecil. Tak ada mobil
berseliweran. Hampir 80 persen orang berjalan kaki. Sisanya naik sepeda atau
sepeda motor. Yang menarik, 70 persen penduduk di pulau ini beragama Islam.
Sisanya menganut agama Budha.
Menginjakkan kaki di pulau ini,
suasana pulau wisatanya benar-benar terasa. Melewati gerbang pelabuhan, berdiri
sebuah Tourist Information Center. Di pusat informasi ini, pengunjung dapat
bertanya apa saja mengenai pulau Phi Phi. Mulai dari harga penginapan yang
bervariasi, tempat makan, lokasi counter ATM tempat menarik uang tunai, sampai
di mana tempat mencuci pakaian kotor. Harganya bervariasi untuk kelas
backpacker maupun kelas eksekutif.
Di kiri kanan jalan setapak berjejer
toko-toko berkonstruksi kayu yang menjual aneka kebutuhan pelancong. Dari
tempat makan, warung internet, hingga operator diving yang menawarkan
peralatan menyelam. Fasilitas yang ditawarkan terbilang lengkap, semisal
Seafrog Diving Center.
Maya Bay terletak di pulau lain yang
tak jauh dari pulau utama. Jaraknya hanya15 menit naik boat. Orang setempat
menyebutnya Ko Phi Phi Lay. Berbeda dengan pulau utama, tak ada penduduk yang
tinggal di sini. Yang ada hanya para turis yang memenuhi pantai berpasir
putih nan halus yang terbentang sepanjang 200 meter.
Amazing! Incredible! Wonderful!
Itulah kata-kata yang sering keluar dari mulut para pelancong sebagai wujud
rasa kagum ketika menjejakkan kaki di Maya Bay. Posisinya yang yang menjorok ke
dalam dan terlindung di tiga sisi oleh tebing-tebing bukit kapur setinggi
sekitar 100 meter membuat suasana private beach benar-benar terasa.
Untuk tiba di tepi pantai, boat yang
saya tumpangi melewati perairan yang dipagari bukit kapur di kedua sisinya.
Itulah satu-satunya pintu gerbang menuju pantai. Jika diumpamakan seperti huruf
U, serakan pasir pantai hanya terdapat di bagian yang melengkung.
Duhai, lihatlah pemandangan yang
tersaji: pantai berpasir putih dikelilingi bukit-bukit karst, air setenang
kolam renang nan hijau, dan ikan-ikan jinak aneka warna yang berenang bersama
manusia. Tak salah jika produser film The Beach kepincut dengan pantai
ini. Tak salah pula jika orang menyebutnya surga tersembunyi di muka bumi.
Pemandu wisata yang membawa saya ke
sana mematikan mesin boat sebelum tiba di tepi pantai. Telunjuknya mengarah ke
air yang dipenuhi ikan-ikan kecil aneka warna. Tun, nama pria itu, menuntun
saya untuk berenang di antara ikan-ikan. Tak lupa ia menyodorkan roti yang
sudah dipotong kecil-kecil untuk umpan ikan.
Tak bisa berenang? Jangan khawatir,
Tun melengkapi boatnya dengan peralatan snorling, lengkap dengan baju pelampung
dan pin yang sering disebut kaki katak. Dengan peralatan itu, dijamin
anda tetap mengapung meski tak bisa berenang.
Byuur! Baru saja nyemplung ke
air, saya tiba-tiba dikepung ratusan ikan kecil. Dari atas boat, Tun
mengisyaratkan untuk memberi remah-remah roti. Benar saja, ikan-ikan itu
langsung berebutan ketika saya melempar roti. Sungguh menyenangkan!
Puas bermain-main dengan ikan, Tun
kemudian menghidupkan mesin boatnya, mengantar saya keliling ke beberapa titik
menarik lainnya. Untuk mendapatkan pelayanan ini, cukup membayar 750 bath
setara Rp 235 ribu per orang. Dari Maya Bay, Tun membawa saya ke Monkey
Beach yang dipenuhi monyet, mengayuh kano di antara bukit-bukit kapur di Pileh
Lagoon, dan bersnorkling ria di Loh Samah Bay.
***
Ketika berenang bersama ikan di Maya
Bay, ingatan saya melayang ke Pantai Iboih dan Rubiah di Sabang. Ikan-ikan di
sana juga tak kalah bersahabat. Keindahan alamnya juga tak jauh beda. Air yang
tenang dan jernih serupa kolam renang? Sabang juga punya. Bedanya hanya pada
bukit-bukit kapur yang tak ada di Sabang.
Hal lain yang tak tersedia di Sabang
adalah fasilitas untuk wisatawan. Jangankan counter-counter ATM untuk menarik
duit seperti yang tersedia di Koh Phi Phi, fasilitas untuk pemandian umum
sehabis berenang pun belum ada yang memadai. Ini terasa janggal untuk Sabang
yang telah ditetapkan sebagai salah satu lokasi tujuan wisata nasional oleh
Kementerian Pariwisata. Padahal, sektor pariwisata menjadi salah satu andalan
pendapatan pemerintah setempat. Pada titik ini, Sabang seperti tak punya
pemerintah. Maka tak heran Sabang hanya terkenal diantara bule-bule dengan isi
kantong terbatas.
Ingatan saya tentang Sabang buyar
ketika Tun mematikan mesin boat. Rupanya, kami telah tiba kembali di pulau
utama. Di ufuk barat, langit mulai kemerahan, pertanda sebentar lagi matahari
akan tenggelam.
“Jika ingin sembahyang magrib, di
ujung jalan utama ada mushalla,” kata lelaki muslim berusia 38 tahun itu.
Saya menganggukkan kepala. Sepanjang
jalan menuju musalla Tun yang keturunan Melayu bercerita tentang sektor
pariwisata yang telah mengubah hidupnya.
Tun pernah bekerja sebagai nelayan.
Namun, ketika gelombang turis datang ke kampungnya, ia beralih profesi menjadi
pengantar wisatawan. Katanya, uang yang diperoleh dari wisatawan lebih banyak
daripada hasil mencari ikan di laut. Itu sebabnya, jika dulu berburu ikan, kini
Tun lebih memilih memelihara ikan-ikan sebagai daya tarik bagi pelancong.
“Kalau ikannya ditangkap, hasilnya
hanya sementara. Tapi membiarkan ikan-ikan itu hidup bisa mendatangkan uang
dari wisatawan untuk waktu yang lama,” kata Tun sambil tersenyum.
Seperti Tun, hampir seluruh nelayan
pulau itu menggantungkan hidup dari industri pariwisata. Ada yang berdagang,
pemandu wisata, atau membuka penginapan untuk para turis.
Di pulau itu saya juga bertemu
dengan Imran, seorang anak muda jebolan pesantren di Thailand Selatan. Imran
berprofesi ganda: guru mengaji, dan pemandu wisata. Jam kerjanya tak
tentu, tergantung tamu yang memakai jasanya. Tak jarang ia ikut menemani
tamunya hingga larut malam.
Kehidupan di Koh Phi Phi memang tak
berhenti ketika malam tiba. Jika siangnya pelancong menikmati keindahan alam,
malam harinya berganti dengan menonton pertunjukan di tepi pantai.
Ditemani suara musik yang berdentam
dari puluhan kafe yang berjejer di tepi pantai, malam itu saya menonton aksi
empat pria yang unjuk kebolehan beratraksi bola api. Yang bikin takjub, satu
dari mereka berjalan di seutas tali sambil memutar dua bola api di tangannya.
Tepuk tangan langsung menggema ketika lelaki itu berhasil tiba di ujung tali
tanpa terjatuh.
Menyaksikan atraksi itu, ingatan
saya kembali melayang ke Sabang. Saya membayangkan malam di Sabang tentu akan
lebih hidup jika pelancong disuguhi atraksi lokal seperti debus, rapai atau
seni tradisi lainnya.
Leonardo DiCaprio dengan film The
Beach-nya telah mengubah hidup penduduk Koh Phi Phi. Pulau kecil di Laut
Andaman yang dulu tersembunyi itu telah bersalin wajah. Pada Juni 2013 lalu,
CNN memasukkannya dalam 100 pantai terindah di dunia.
Bagaimana dengan Sabang?
Sumber : Majalah The Atjeh